Manusia melihat kehidupan nyata secara mendalam melalui sebuah fenomena yang disebut “binocular fusion” atau fusi teropong. 3D TV secara digital meniru cara otak kita dalam mempersepsikan 3D dalam kehidupan nyata, sehingga memberikan kita pengalaman menonton dengan suasana nyata melalui gambar-gambar yang tampak keluar dari TV.
3D TV dan mata manusia memiliki banyak kesamaan. Antara mata kiri dan mata kanan kita memiliki jarak, sehingga keduanya melihat gambar dengan prespektif yang sedikit berbeda. Otak kita menggabungkan kedua gambar tersebut untuk menciptakan kesan 3 Dimensi, begitu pula dengan 3D TV. Kedua gambar tersebut, yang masing-masing memiliki sudut yang sedikit berbeda, dilihat melalui kacamata 3D dan kemudian digabungkan oleh otak untuk membuat sebuah gambar 3 Dimensi.
Teknologi 3D pertama kali muncul dalam industri film pada akhir abad ke 19. Sejak saat itu, teknologi 3D terus berkembang hingga kini menjadi sebuah hiburan yang dapat dinikmati di rumah.
1890 – William Friese-Greene, seorang pembuat film dan penemu asal Inggris memproyeksikan kedua gambar kiri dan kanan pada satu layar dan menyediakan kacamata merah dan hijau kepada para penonton, sehingga menghasilkan efek 3D saat film tersebut ditonton.
1922 – Film 3D pertama, “The Power of Love” dirilis. Film merah dan hijau yang terpolarisasi , ditonton dengan menggunakan kacamata merah dan hijau untuk menciptakan efek 3D.
1970 -Direktur Film Allan Sollipant dan Opticist Chris Condon menciptakan teknologi 3D baru yang disebut “stereovision”. Metode baru ini menggantikan penggunaan dua film terpisah pada dua layar, dengan film 3D baru yang diproyeksikan ke layar tunggal.
2004 – Film 3D IMAX pertama, “The Polar Express” dirilis.
2010 - Perilisan film pemenang Oscar, “Avatar”, membawa minat baru untuk televisi 3D. 3D TV dengan menggunakan teknologi SG 3D (Shutter Glasses) diluncurkan pada 2010 dan diikuti oleh teknologi FPR 3D (Film Patterned Retarder). FPR memungkinkan penonton untuk menikmati 3D TV dengan mengenakan kacamata 3D yang ringan dan bebas baterai.
Teknologi 3D Generasi Pertama menggunakan Shutter Glasses 3D, dimana sebagian efek 3D dihasilkan melalui teknologi yang tertanam didalam kacamata, yang membuat kacamata tersebut berukuran besar dan mahal. Teknologi 3D Generasi berikutnya, FPR (Film Patterned Retarder) 3D bergantung pada televisi, bukan pada kacamata, untuk dapat menghasilkan gambar 3D. Oleh karena itu penonton dapat menggunakan kacamata yang ringan dan nyaman seperti yang digunakan di beberapa bioskop.
Generasi Pertama : Shutter Glasses 3D
Shutter Glasses 3D menggunakan lensa yang dilapisi Liquid Crystal (Kristal Cair) dan kacamata tersebut berfungsi memisahkan gambar dengan menutup gambar kiri dan kanan yang ditampilkan oleh 3D TV secara bergantian, sehingga ada beberapa efek samping yang dihasilkan seperti Flicker (Kedipan) dan Crosstalk (Gambar Berbayang), yang menyebabkan mata cepat lelah, pusing dan mual.
Generasi Berikutnya : FPR 3D
Pada FPR 3D, pemisahan gambar dilakukan pada lapisan Panel FPR di 3D TV tersebut, bukan di kacamata, sehingga kacamata FPR 3D tidak membutuhkan baterai, terasa ringan layaknya kacamata biasa, lebih murah dan bebas dari semua efek samping yang ditimbulkan oleh Kacamata SG 3D (Bebas Gelombang Elektromagnetik, Flicker Free & Less Crosstalk).
Generasi Mendatang : Glasses-free 3D
Teknologi 3D terus berkembang, dan dalam beberapa tahun mendatang produsen diharapkan untuk dapat memperkenalkan 3D TV yang tidak membutuhkan Kacamata 3D ke pasaran, untuk memenuhi kebutuhan hiburan dirumah yang bebas dari hambatan teknis dan masalah biaya.
(mb via fpr3d)
3D TV dan mata manusia memiliki banyak kesamaan. Antara mata kiri dan mata kanan kita memiliki jarak, sehingga keduanya melihat gambar dengan prespektif yang sedikit berbeda. Otak kita menggabungkan kedua gambar tersebut untuk menciptakan kesan 3 Dimensi, begitu pula dengan 3D TV. Kedua gambar tersebut, yang masing-masing memiliki sudut yang sedikit berbeda, dilihat melalui kacamata 3D dan kemudian digabungkan oleh otak untuk membuat sebuah gambar 3 Dimensi.
Teknologi 3D pertama kali muncul dalam industri film pada akhir abad ke 19. Sejak saat itu, teknologi 3D terus berkembang hingga kini menjadi sebuah hiburan yang dapat dinikmati di rumah.
1890 – William Friese-Greene, seorang pembuat film dan penemu asal Inggris memproyeksikan kedua gambar kiri dan kanan pada satu layar dan menyediakan kacamata merah dan hijau kepada para penonton, sehingga menghasilkan efek 3D saat film tersebut ditonton.
1922 – Film 3D pertama, “The Power of Love” dirilis. Film merah dan hijau yang terpolarisasi , ditonton dengan menggunakan kacamata merah dan hijau untuk menciptakan efek 3D.
1970 -Direktur Film Allan Sollipant dan Opticist Chris Condon menciptakan teknologi 3D baru yang disebut “stereovision”. Metode baru ini menggantikan penggunaan dua film terpisah pada dua layar, dengan film 3D baru yang diproyeksikan ke layar tunggal.
2004 – Film 3D IMAX pertama, “The Polar Express” dirilis.
2010 - Perilisan film pemenang Oscar, “Avatar”, membawa minat baru untuk televisi 3D. 3D TV dengan menggunakan teknologi SG 3D (Shutter Glasses) diluncurkan pada 2010 dan diikuti oleh teknologi FPR 3D (Film Patterned Retarder). FPR memungkinkan penonton untuk menikmati 3D TV dengan mengenakan kacamata 3D yang ringan dan bebas baterai.
Teknologi 3D Generasi Pertama menggunakan Shutter Glasses 3D, dimana sebagian efek 3D dihasilkan melalui teknologi yang tertanam didalam kacamata, yang membuat kacamata tersebut berukuran besar dan mahal. Teknologi 3D Generasi berikutnya, FPR (Film Patterned Retarder) 3D bergantung pada televisi, bukan pada kacamata, untuk dapat menghasilkan gambar 3D. Oleh karena itu penonton dapat menggunakan kacamata yang ringan dan nyaman seperti yang digunakan di beberapa bioskop.
Generasi Pertama : Shutter Glasses 3D
Shutter Glasses 3D menggunakan lensa yang dilapisi Liquid Crystal (Kristal Cair) dan kacamata tersebut berfungsi memisahkan gambar dengan menutup gambar kiri dan kanan yang ditampilkan oleh 3D TV secara bergantian, sehingga ada beberapa efek samping yang dihasilkan seperti Flicker (Kedipan) dan Crosstalk (Gambar Berbayang), yang menyebabkan mata cepat lelah, pusing dan mual.
Generasi Berikutnya : FPR 3D
Pada FPR 3D, pemisahan gambar dilakukan pada lapisan Panel FPR di 3D TV tersebut, bukan di kacamata, sehingga kacamata FPR 3D tidak membutuhkan baterai, terasa ringan layaknya kacamata biasa, lebih murah dan bebas dari semua efek samping yang ditimbulkan oleh Kacamata SG 3D (Bebas Gelombang Elektromagnetik, Flicker Free & Less Crosstalk).
Generasi Mendatang : Glasses-free 3D
Teknologi 3D terus berkembang, dan dalam beberapa tahun mendatang produsen diharapkan untuk dapat memperkenalkan 3D TV yang tidak membutuhkan Kacamata 3D ke pasaran, untuk memenuhi kebutuhan hiburan dirumah yang bebas dari hambatan teknis dan masalah biaya.
(mb via fpr3d)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar