Selasa, 08 Februari 2011

Sejarah Gereja Keuskupan Sintang



Pendahuluan
Wilayah Keuskupan Sintang, yang terletak di bagian hulu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi, meliputi dua Kabupaten dari Propinsi Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Wilayah yang luasnya 65.000 km2 ini hanya mempunyai hubungan melalui sungai dan jalan setapak. Kecuali sedikit di sekitar Sintang, yang walaupun amat darurat, punya hubungan darat yang dapat dilalui oleh jeep dan sepeda motor. Jumlah penduduk di wilayah Keuskupan Sintang, menurut sensus 1980, berjumlah 391.926 jiwa. Jumlah orang katolik dan yang mengaku katolik sebanyak 130.966 jiwa, sedangkan yang tercatat sebagai penganut Islam 149.178 jiwa, Kristen Protestan 73.502 jiwa, Hindu 228 jiwa, Budha 2.144 jiwa, dan diluar gama resmi sebanyak 35.908 jiwa. Jadi penganut Katolik di Keuskupan ini sebanyak 33,4% dari jumlah penduduk dalam wilayah Keuskupan Sintang.

Dilihat dari jumlah prosentase jumlah umat, Gereja di Keuskupan Sintang mempunyai potensi yang amat besar. Potensi yang nampak dalam statistik lama dan masih seakan-akan tersembunyi. Sebagian besar penganut Katolik di Keuskupan ini adalah Suku Dayak. Mata pencarian mereka adalah ladang berpindah, kebun karet, dan hasil hutan lainnya. Dari semua sumber tersebut, penghasilan mereka rata-rata cukup rendah. Karena itu prosentase yang membesarkan hati, yang cukup mengejukan masyarakat pada umumnya dan juga Gereja, selain memberi banyak harapan juga menyodorkan tantangan-tantangan.

I.   Permulaan Perkembangan Gereja Katolik di Keuskupan Sintang
Gereja di Keuskupan Sintang dimulai dari sebuah “biji” yang betul-betul kecil dan hampir tidak kelihatan, yakni wilayah Sejiram. Ketika seluruh Nusantara masih di bawah satu Vikariat Apostolik Jakarta, sudah ada maksud mendirikan karya misi di antara orang-orang Dayak. Dalam surat Vikaris Apostolik dari Batavia tertanggal 25 Pebruari 1884, dengan nomor 178, Mgr. Claessens memberitahu tentang pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo bagi Misi Katolik. Dalam surat itu juga dinyatakan bahwa dalam penjajakannya yang terakhir di Borneo ada kesan cukup baik akan kemungkinan penerimaan orang Dayak terhadap Misi Katolik. Ijin untuk memulai bekerja di antara orang Dayak diberikan pada tanggal 7 Agustus 1884, mula-mula di daerah-daerahang langsung di bawah pemerintah Belanda, yakni di Sambas, Mempawah dan Sintang. Pater Staal beberapa  kali mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi. Beliau menganjurkan supaya misi  dimulai  di  antara  orang-orang  Dayak  yang  diam  di  sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Darah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat mudah berhubungan. Residen Gijbers dari Pontianak menganjurkan supaya Pater Staal mengunjungi juga daerah-daerah lain: lima hari mudfik dengan motor-boat dari Pontianak. Daerah itu adalah Semitau, pusat orang-orang Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pater Staal punya kesan baik terhadap orang-orang Dayak di sekitar Semitau. Namun mengingat jumlah mereka yang hanya sekitar 1500 orang, dan perjalanan yang sulit sekali, sehingga Pater Staal tetap pada nasehatnya: pilihlah Sebalau.
Dalam pertimbangan selanjutnya ternyata Sebalau tidak dipilih, karena terletak dalam daerah kekuasaan Sultan Sambas dan tidak ada jaminan bahwa pejabat-pejabatnya yang semuanya Islam tidak akan menghalangi karya misi di antara orang-orang Dayak yang masih animis. Dengan demikian, pilihan jatuh pada Semitau, tempat kedudukan seorang Kontrolir yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemnerintah Belanda dan mereka bersedia menerima Misi Katolik.

Demikianlah dengan Surat Dinas tanggal 14 Juni 1890, nomor 252, yang dikeluarkan berdasarkan Surat Dinas Kabinet tanggal 29 Juli 1889, nomor 7, yang menyetujui Misi Katolik berkarya di antara orang-orang Dayak dengan tempat kedudukan Semitau, Pastor Looymans diutus menjadi misionaris pertama bagi orang Dayak. Tanggal 29 Juli 1890 Pastor H. Looymans tiba di Semitau.Kemudian ternyata Semitau bukan tempat yang strategis bagi karya misi. Karena orang Dayak tidak tinggal di Semitau, tetapi di daerah sekitarnya. Hanya sesekali mereka datang ke Semitau Desa yang merupakan pusat perdagangan bagi daerah sekitarnya. Penduduknya sendiri hanya terdiri dari orang-orang Cina dan Melayu. Dengan demikian, kontak yang mendalam dengan orang Dayak hampir tidak mungkin. Maka pada tahun 1892 Pastor Looymans dijemput dan dibawa ke Sejiram oleh Babar, Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram. Di atas tanah kosong yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang, tidak jauh dari Nanga Sejiram, Pastor Looymans membangun rumah. Tempat itu terletak di antara 4 kampung orang Dayak. Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu kemudian dibangun gereja, sekolah dan pondok untuk anak-anak sekolah. Dalam waktu tujuh bulan Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anak. Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak muda. Pada tahun 1893 Pastor Looymans yang sendirian dan kurang terpelihara hidupnya dibantu oleh Pastor Mulder. Sayang karya mereka tidak dapat beretahan lama.Daerah yang baru dirintis itu hanya dapat dilayani beberapa tahun saja. Pada tahun 1898 Sejiram terpaksa harus ditinggalkan, karena tenaga mereka diperlukan di tempat lain yang lebih mendesak. Di tahun 1900 Pastor Schrader pernah sekali mengunjungi Sejiram. Sesudah itu Sejiram tidak pernah dikunjungi lagi sampai tahun 1906.

II.   Sintang Sebagai Bagian Wilayah Prefektur Apostolik Kalimantan
Tanggal 11 Pebruari 1905 Kalimantan menjadi daerah Prefektur Apostolik sendiri, yang  meliputi  seluruh  wilayah  Kalimantan  yang dikuasai oleh Belanda  pada  waktu  itu, dengan tempat kedudukan Prefek Apostolik di Pontianak. Daerah Prefektur Apostolik yang baru ini dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Pater Pacificus Bos sebagai Prefek Apostolik yang pertama, diangkat pada tanggal 10 April 1905.

Sejak ditinggalkan pada tahun 1898, baru bulan Mei 1906 bekas Stasi Sejiram dikunjungi lagi. Kunjungan ini dilakukan oleh Prefek sendiri sebagai penjajakan. Stasi dibuka kembali pada tanggal 22 Agustus 1906. Dua orang Pastor dan dua orang Bruder, yakni: Pastor Eugenius, Pastor Camillus dan Bruder Theodorius, pada tanggal tersebut mulai menetap di Sejiram. Tidak lam kemudian karya misi di Sejiram diperkokoh dengan datangnya beberapa Suster Fransiskanes dari Veghel, yaitu: Sr. Didelia, Sr. Casperina dan Sr. Cayetana. Datangnya misionaris Kapusian dan Suster-Suster Fransiskanes tersebut merupakan titik awal baru perkembangan Gereja di wilayah ini. Benih sudah ditanam, kini mulai tumbuh.

Ketika misionaris Kapusin datang ke Sejiram, mereka tidak menemukan apa-apa lagi kecuali rumah Pastor. Gereja, sekolah dan perumahan lainnya yang dulu pernah dibangun oleh Pastor Looymans di situ tidak ada lagi. Tetapi benih yang dulu ditanam, sudah tumbuh dan masih hidup, walaupun ditinggalkan beberapa tahun. Beberapa orang katolik yang dulu dipermandikan sebagai anak kecil oleh Pastor Looymans masih ada. Setiap hari Minggu berkumpul kurang lebih 50 orang untuk sembahyang dan pelajaran agama. Gereja dan Pastoran baru segera mulai dibangun.

Selain karya untuk hal-hal yang rohani, juga karya di bidang sosial dimulai. Misionaris-misonaris ini mulai membuka sekolah dan perkebunan. Walaupun saat ini perkebunan di Sejiram tidak lagi berkembang dan sekolah di Sejiram tidak ada lagi, juga tidak lagi sebagai pusat, tetapi dampaknya masih nyata dan dapat dilihat sampai saat ini. Perkembangan orang Dayak dalam bidang perkebunan, khususnya perkebunan karet, dan pendidikan lainnya, yang kemudian membawa mereka keluar dari lingkungannya yang amat tertutup pada waktu itu, dimulai dari karya misi di Sejiram ini. Para misionaris dari poermulaan sudah melihat bahwa usaha misi di antara orang  Dayak harus disertai dengan usaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Untuk itu perlu ada sekolah dan usaha perkebunan.

Memulai sebuah sekolah di kalangan orang Dayak pada waktu itu cukup sulit. Pastor terpaksa harus pergi ke kampung-kampung mencari murid. Anak-anak dan orang tua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah dan dibujuk dengan kata-kata serta hadiah-hadiah. Setiap tahun Pastor tetap terpaksa memburu murid ke kampung-kampung, karena setelah beberapa tahun orang tua masih tidak berani melepaskan anak-anak pergi ke sekolah. Ketakutan itu masih ditambah oleh adanya isu yang mengatakan bahwa anak-anak akan dibawa pergi dan tidak akan dibawa kembali kepada orang tuanya. Anak-anak disembunyikan oleh orang tuanya di ladang atau di loteng rumah begitu mendengar Pastor datang ke kampung mereka. Ini hanya salah satu contoh kesulitan pada waktu itu.
Sekarang keadaannya berlainan sekali. Boleh dikatakan terbalik. Pastor tidak perlu mencari murid, tetapi mereka sendiri yang datang. Namun kesulitan biaya,  yang  dari  dulu dialami, sekarang masih tetap dialami  sebagai  salah  satu  hambatan  yang  terbesar  untuk kemajuan orang-orang Dayak. Karena itu salah satu penekanan dalam usaha misi di bidang pendidikan di masa sekarang ini untuk  orang-orang  Dayak,  adalah  beasiswa  bagi  anak / remaja / pemuda yang memiliki kemampuan belajar dan ingin  maju,  tetapi  kurang  biaya. Asrama bagi para pelajar Dayak masih tetap dibutuhkan, mengingat sebagian besar mereka tinggal di pedalaman. Perkembangan Gereja sebagian ditentukan oleh usaha pendidikan. Bahwa ada orang Dayak yang tertarik kepada Gereja karena usaha pendidikan yang dapat meningkatkan hidup mereka, itu kiranya bukan hanya terjadi di kalangan orang Dayak, tetapi bisa terjadi di seluruh dunia. Pendidikan itu membuka pikiran dan dunia seseorang, membantu kesadaran dan penghayatan iman yang lebih mendalam. Hal ini sudah disadari sejak misionaris-misionaris pertama menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan ini.

III. Perkembangan di Lanjak, Benua Martinus, dan Bika (1905-1940)
Di wilayah barat Borneo bagian pedalaman, Sejiram adalah pusat Stasi. Wilayah Stasi ini meliputi wilayah Keuskupan Sintang dan sebagian dari wilayah Keuskupan Sanggau sekarang ini. Dari Sejiram, seluruh wilayah ini dilayani dengan perahu, motor-boat dan jalan kaki. Kegiatan utama dalam kunjungan ke Stasi-stasi adalah sembahyang, pelajaran agama, permandian dan mencari anak-anak yang mau disekolahkan di Sejiram. Dalam arsip dapat dilihat kebanggaan seorang Pastor yang baru pulang dari kunjungan ke Stasi-stasi, selan dari umlah permandian, juga berapa anak yang berhasil dibawa ke Sejiram untuk disekolahkan.

Tanggal 26 Desember 1906 ada pembicaraan dengan Campagne Kontrolir Semitau tentang kemungkinan membangun rumah untuk Stasi baru di Batang Lupar, dengan tempat kedudukan Lanjak. Tanggal 30 Januari 1907 jawaban dari Pater Prefek menyetujui rencana tersebut. Mkasud peninjauan pertama ke daerah itu terpaksa dibatalkan karena ada wabah cacar di kampung-kampung bagian Serawak (daerah di bawah kekuasaan Inggris) yang berdekatan dengan kampung-kampung di Batang Lupar. Beberapa orang dari daerah yang berada di bawah kekuasaan Belanda juga kena. Baru bulan Juli 1908 P. Gonzalpus, P. Ignasius dan Br. Donulus dapat pergi ke Batang Lupar / Lanjak. Di Lanjak, seperti di Sejiram, mereka mulai membangun rumah, gereja dan sekolah. Mereka mulai berkenalan dengan orang-orang Dayak yang berasal dari Embaloh. Mereka kadang-kadang pergi ke Lanjak untuk mencari pekerjaan, menjual hasil ladang dan membeli keperluan sehari-hari dari pedagang-pedagang Tionghoa yang berada di Lanjak. Di antara orang-orang Dayak itu ada juga yang sudah dipermandikan. Mereka menjadi kristen di Kanowir-Serawak. Jumlah mereka cukup banyak, yakni 16 orang. Di antara orang-orang ini, yang penting ialah Peter Bai, Gregorius Jawa dan Petrus Nglambong. Atas undangan mereka, tanggal 2 sampai 3 Nopember 1909, Pastor Gonzalpus Buil pertama kali mengunjungi Embaloh dan sukses. Sejak saat itu putera-puteri Embaloh ikut Pastor ke Lanjak dan sekolah di sana. Dalam satu tahun jumlah anak-anak Embaloh yang sekolah di Lanjak sudah mencapai 75 orang. Kehadiran anak-anak Embaloh ini menguntungkan sekolah di Lanjak yang cukup sulit mencari murid, karena anak-anak dari suku Iban belum tertarik pada sekolah. Karena itu juga P. Ignasius van der Putten dan P. Gonzalpus mengusulkan pada pimpinan supaya mendirikan sekolah di  Embaloh. Untuk sementara usul itu belum diterima karena ada rencana mau mulai dengan Stasi baru di Nanga Mandai, di antara Suku Kantuk.

Dari tanggal 2 sampai 24 Juli 1910 dilakukan kunjungan pertama oleh misionaris Kapusin  dari Sejiram  ke Kapuas Hulu. Ada 30 kampung yang   dikunjungi. Dalamkunjungan itu bertemu dengan 180 orang Katolik yang dulu dipermandikan  oleh  Pastor Looymans. Dari kunjungan itu kelihatan bahwa Kapuas Hulu sudah perlu pusat Stasi sendiri. Persoalannya, di mana didirikan. Di bagian Suku Kayan (sungai Mendalam) ada tempat yang bagus. Penduduk sudah menetap dan mereka suka menerima misionaris. Tetapi mereka masih amat kuat berpegang pada adat. Di bagian Suku Kantuk juga baik. Masyarakat di situ ramah dan suka menerima Pastor. Tetapi mereka pendatang di daerah itu dan belum ada kepastian apakah mereka akan tetap tinggal di daerah itu. Kemudian, pada tahun 1911 Pastor Eleutherius dan Pastor Flavianus diutus ke Kapuas Hulu untuk mengadakan pembicaraan mengenai pembangunan Stasi di Nanga Mandai. Dalam pembicaraan itu ternyata Suku Kantuk di Nanga Mandai merencanakan akan pindah. Kontrolir di Putussibau pun menginginkan supaya Suku anKantuk yang berada di pinggir Sungai Kapuas pindah ke daerah yang lebih tinggi. Di pinggir Kapuas hasil ladang mereka sering rusak oleh banjir, sehingga kehidupan mereka seringamat sulit. Oleh karena itu, maka rencana mendirikan Stasi baru di Nanga Mandai dibatalkan. Dengan persetujuan Pastor Prefek J.P. Bos pada bulan September 1912, dana pembangunan untuk Stasi Nanga Mandai yang diberikan oleh keluarga van Thiel (Holland) dipindahkan ke pembangunan Stasi di Embaloh. Hasil perundingan dengan kepala-kepala suku orang Dayak di Embaloh diputuskan Benua Banyu sebagai tempat pembangunan pusat Stasi yang baru, yang kemudian diberi nama sesuai nama permandian donaturnya: Benua Martinus.

Sementara itu Kapuas Hulu tetap dilayani dari Sejiram. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1924, bagian Kapuas Hulu mendapat pusat Stasi sendiri: Bika. Stasi Sejiram makin tahun makin berkembang. Pada tahun 1924 Stasi ini sudah dibagi dalam 4 Stasi: Sejiram, Lanjak, Benua Martinus dan Bika. Gambaran Gereja dan perkembangannya sampai tahun 1927 dapat dilihat dari Laporan Tahunan Paroki Sejiram tahun 1926 dan 1927. Perlu diingat bahwa laporan ini hanya dari Paroki Sejiram, tidak termasuk Lanjak, Benua Martinus dan Bika.

( Berbagai Sumber )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar